KH Abdullah Faqih(Langitan) KH. Hasyim Muzadi (Malang) KH. Muhibbi Karya Kiai Abul Fadhol Diantara kitab karya beliau : Kitab Ahla Musamarah fi Hikayat Auliya' 'Asyrah, Kifâyah al-Thullâb, merupakan kitab nazham(puisi) yang menghimpun teori-teori qawâid fiqhiyyah(filsafat yurisprudensi Islam/Islamische Rechtsmaximen). Innalillahi wa inna ilayhi raji'un (إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ)Telah berpulang ke Rahmatulloh..KH.Abdullah Faqih, pengasuh PP Langitan Tuban pada hari Rabu, 29 Pebruari sekitar pukul 18.30. Segenap Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama, turut berduka cita yang Sedalamnya atas wafatnya beliu. AbdullahFaqih. Syaikhina lahir dari pasangan bahagia Kiai Rofi'I dan Nyai Khodijah. Bersaudarakan tiga, yaitu: Abdullah Faqih, Khozin, dan Hamim. Namun semenjak kecil, kepengasuhan berada di bawah KH Abdul Hadi Zahid, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan generasi keempat. Ini terjadi lantaran Ayahanda beliau, Kiai Rofi'I (adik KH Abdul Hadi KH Ahmad Fatih Syuhud telah menempa ilmu agama dan umum pada banyak ulama dan cendekiawan, baik dalam maupun luar negeri. Para Guru beliau antara lain : 1. Berguru dengan ayah beliau KH. Syuhud Zayyadi, Malang 2. Mondok di pesantren Sidogiri KH. Abdul Alim Abdul Jalil Sidogiri 3. Mondok di pesantren Sidogiri KH. Nawawi Abdul Jalil Sidogiri 4. Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Abdullah Faqih From Wikipedia, the free encyclopedia Abdullah Faqih 2 Mei 1932 – 29 Februari 2012 adalah seorang kiai atau Ulama yang berpengaruh serta pengasuh Pondok Pesantren Langitan. Quick facts Abdullah Faqih, Meninggal, Pekerjaan, Dikenal... ▼ Abdullah FaqihMeninggalWidang, TubanPekerjaanPengasuh Pondok Pesantren LangitanDikenal atasPoros Ahmad Marzuki ZahidPartai politikNUSuami/istriNyai Hj. KhunainahAnakUbaidillah, Muhammad, Mujib, Hanifah, Mujab, Ma’shum, Abdullah Habib, Salamah, Abdurrahman, Amirah Biografi KH. Abdullah Faqih, Sang Kiai Langitan Abdullah Faqih lahir di Widang, Tuban, 2 Mei 1932 – wafat di Widang, Tuban, 29 Februari 2012 pada umur 79 tahun adalah seorang kiai atau Ulama yang berpengaruh serta pengasuh Pondok Pesantren Langitan. Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama. Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. “Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan. Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang dekat Babat Lamongan ini. Antara lain KH Muhammad Cholil Bangkalan, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin, dan KH Shiddiq ayahnya KH Ahmad Shiddiq. Kiai Faqih generasi kelima memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya. Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun. Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak TK dan Taman Pendidikan Al-Qur’an TPA. Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel. Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas. Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.” Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. “Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie yang pernah menggeluti profesi wartawan ini. Di mata anggota DPR ini, Kiai Faqih adalah sosok yang berpikir jernih dan sangat hati-hati dalam setiap hendak melangkah atau mengambil keputusan. Pernah pada suatu kesempatan, Gus Dur ingin sowan menghadap ke Langitan. Demi menghindari munculnya spekulasi yang macam-macam, apalagi saat itu menjelang pemilihan presiden, Kiai Faqih menolak. Justru dialah yang menemui Gus Dur di Jombang, saat Gus Dur berziarah ke makam kakeknya. KH. Masbuhin Faqih – Masbuhin Faqih di lahirkan di desa Suci kec. Manyar Kab. Gresik pada tanggal 31 Desember 1947 Masehi atau 18 Shafar 1367 Hijriyah. Beliau lahir dari pasangan kekasih Al-Maghfurlah KH. Abdullah Faqih dan HJ. Tswaibah. Dari pasangan kekasih tersebut lahir 5 orang anak, 3 orang putra dan 2 orang putri, KH. Masbuhin Faqih merupakan anak pertama yang paling tua. Beliau memiliki silsilah yang mulya dan agung, yakni sampai ke Sunan Giri. Kalau diruntut, maka beliau adalah keturunan ke-12 dari kanjeng Sunan Giri Syeih Maulana Ishaq. Dengan runtutan seagai berikut Syeih Ainul Yaqin Sunan Giri – Sunan Dalem – Sunan Prapen – Kawis Goa – Pangeran Giri – Gusti Mukmin – Amirus Sholih – Abdul Hamid – Embah Taqrib – KH. Muhammad Thoyyib – KH. Abdullah Faqih – dan sampailah pada KH. Masbuhin Faqih. Dengan silsilah yang begitu agung tersbut, tak bisa dipungkiri di dalam diri beliau terdapat ruh dan jiwa seorang ulama yang tangguh dan berjuang tanpa batas waktu seperti embah buyutnya dahulu. Hal ini sesuai dengan Qiyasan santri “Bapaknya Singa maka ank-anaknya pun singa”. Pendidikan beliau sejak kecil di lingkungan yang islami. Mulai dari tingkat MI samapi Mts. Setelah Tsanawiyah beliau melanjutkan studinya ke Gontor, Pondok pesantren Darussalam Ponorogo, Jawa Timur, disanalah beliau memperdalam ilmu bahasa Arab dan Inggris. Setelah lulus dari Gontor beliau ingin memperdalam ilmu lagi, selanjutnya beliau nyantri di PP. Langitan Widang Tuban, yang pada saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi dan KH. Abdullah Faqih. Di sana beliau memperdalam ilmu kitab kuning, mulai dari Fiqh, Nahwu, Shorof, tauhid, sampai tasawwuf. Proses penggembalaan ilmu di PP. Langitan cukup lama, sekitar 17 tahun belaiu nyantri di sana. Diceritakan bahwasannya sosok KH. Masbuhin Faqih muda adalah pemuda yang giat dan tekun belajar, suka bekerja keras, dan optimis dalam suatu keadaan apapun. Waktu di PP. Langitan beliau banyak melakukan tirakat, seperti memasak sendiri, melakukan ibadah puasa sunnah dan lain-lain. Di sana belaiu juga sempat menjadi khadam pembantu dalem kyai. Hal ini sampai menjadi jargon beliau dalam menasehati santri MBS Mamba’us Sholihin, yakni “nek mondok ojo belajar tok, tapi nyambio ngabdi nang pondok iku”. Dengan penuh keihlasan dan kesabaran, beliau jalani semua kehidupan diatas demi mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah. Ditengah-tengah menimba ilmu di Langitan, teatnya pada tahun 1976 M atau pada saat beliau berumur 29 th, KH. Abdullah Faqih langitan menyuruh kyai Masbuhin untuk berjuang di tengah masayrakat Suci bersama-sama dengan abahnya. KH. Faqih langitan sudah yakin bahwasannya santrinya ini sudah cukup ilmuya untuk berda’wah dan mengajar di masyarakat. Wak demi waktu berlalu, proses berda’wah terus berjalan dan berkembang pesat. Dengan perkembangan itu KH. Abdullah Faqih disuruh untuk membuat pesantren oleh beberapa guru beliau agar proses berda’wah tersebut lancar. Bersama-sama dengan Anak-anaknya mereka mendirikan suatu pondok yang diberi nama PP. At-Thohiriyyah, yang mana dengan filosofi berada di desa Suci. Masbuhin pada waktu itu masih pulang pergi dari langitan ke -Suci. Beliau masih beranggapan bahwa menimba ilmu di langitan belum sempurna kalau tidak dengan waktu yang lama. Inilah salah satu kelebihan beliau, yakni haus akan ilmu pengetahuan agama Islam. Tepat pada tahun 1980 M, beliau sudah mendapat restu untuk meninggalkan pondok pesantren Langitan. Baca Juga KH. Husein Muhammad, Biografi Singkat, Mendirikan Perguruan Tinggi Hingga Mendapat Penghargaan dari Pemerintah AS Dengan itulah beliau sekarang harus berkonsentrasi dalam msngurus PP. At-Thohiriyyah bersama dengan abahnya. Tepat pada tahun ini juga PP. At-Thohiriyyah dirubah menjadi PP. Mamba’us Sholihin, keadaan ini sesuai dengan usulan KH. Usman Al-Ishaqi. Karena nama suatu pondok dirasa mempunyai arti dan harapan yang penting. Perjungan KH. Masbuhin dalam memajukan pondoknya tidak kenal lelah. Setahap demi setahap pembangunan pondok dilakukan, mulai dari komplek sampai sekolahannya. Dengan relasi yang cukup banyak, beliau mampu membuat MBS singkatan dari Mamba’us Sholihin lebih maju baik itu gedungnya maupun kualitas sumber daya manusia di dalamnya. KH. Abdullah Faqih Bersama KH. Maimun Zubair KH. Abdullah Faqih adalah ulama yang kharismatik sekaligus pengasuh generasi keenam Pon. Pes. Langitan. Beliau merupakan kiai yang sederhana dengan sifat tawadu yang luar biasa. Selain itu beliau juga mempunyai kiprah yang berpengaruh bagi NU, hal ini terbukti karena seringnya beliau dijadikan rujukan oleh kaum nahdliyin. Bahkan KH. Abdullah Faqih atau yang biasa disebut Mbah Yai Faqih itu menjadi sumber rujukan Bapak Presiden keempat, yaitu KH. Abdurrahman Wahid mengenai permasalahan negara. Oleh karena itu, di bawah ini akan diungkapkan secara singkat biografi beliau. Masa Kecil KH. Abdullah Faqih dilahirkan di Mandungan, Widang, Tuban, Jawa Timur. Beliau merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Kiai Rofi’i dan Nyai Khodijah. Mengenai tanggal kelahiran beliau, masih terdapat perbedaan pendapat. Namun pendapat yang dipilih sebagaimana tertulis dalam KTP beliau. Yaitu tepat tanggal 2 Mei 1932 M. Atau 1 Muharram 1351 H. Pada hari Sabtu. Pada saat umur 7 tahun, beliau ditinggal sang ayahanda. Semenjak Ayahanda wafat, ibu beliau dinikahi KH. Abdul Hadi Zahid pengasuh Ponpes. Langitan, generasi k-4. Dan semenjak itulah, kehidupan beliau diarahkan oleh KH. Abdul Hadi, dari mondok hingga berkeluarga. Rihlah Ilmiah Setelah belajar pada KH. Abdul Hadi zahid. KH. Abdullah Faqih muda meneruskan rihlah ilmiahnya ke beberapa pesantren. Salah satunya adalah pondok pesantren asuhan KH. Ma’shum yang berada di Lasem. Pondok pesantren asuhan KH. Abu Fadhol Senori dan Pondok pesantren KH. Dalhar Watucongol, serta beberapa pesantren lain. Perjalanan rihlah ilmiah beliau itu ditempuh dengan waktu yang relatif singkat, yaitu hanya empat tahun, sebagaimana pengakuan beliau sendiri pada suatu kesempatan. “Di Lasem –mondok dua setengah tahun. Di Senori enam bulan. Setelah itu satu bulan pindah ke pesantren lain. Total semuanya tidak lebih dari empat tahun” Kata beliau. Berkeluarga dan Mengasuh Pesantren Selama mondok di Lasem, KH. Ma’shum memiliki perhatian lebih kepada KH. Abdullah Faqih Muda. Puncaknya, beliau dinikahkan dengan Nyai Hunainah binti Kiai Bisri, putri persusuan radha sekaligus keponakan KH. Maksum. Hasil dari pernikahan ini, beliau dikarunia 12 orang anak. Setelah kembali ke Langitan dengan memboyong keluarga, beliau langsung ikut mengabdi ke pesantren. Pada saat KH. Abdul Hadi Zahid wafat karena usia lanjut, beliau ditetapkan sebagai pengasuh pesantren didampingi KH. Ahmad Marzuqi yang juga merupakan pamannya. Pada saat mengasuh pesantren, beliau dikenal sebagai kiai yang disiplin. Rajin terus ke kamar-kamar untuk mengajak belajar, musyawarah, dan shalat malam. Begitu pula dalam ketertiban suasana, beliau cinta kebersihan sehingga kondisi pondok yang tidak bersih akan mendapat perhatian serius dari Beliau. Selain itu, Pada masa mengasuh pesantren, banyak ide dan gagasan beliau yang disalurkan dan masih ada hingga saat ini. Sebagaimana yang terjadi dalam model kepengurusan pondok, dimana beliau merumuskan empat pilar kepengurusan pesantren, yaitu Majelis Idarah, Majelis An Nuwwab, Majelis Tahkim, dan Majelis Amn. Wafat Tepat pada hari Rabu, 29 Februari 2012 M. Usai shalat maghrib sekitar pukul WIB, beliau dipanggil ke hadiratnya. Bumi pun berduka karena ditinggal ulama yang penuh kharisma. Kabar meninggalnya beliau langsung tersebar melalui pesan antar mulut, sms, dan dunia maya. Beliau dimakamkan pada pukul Wib. Hari Kamis, 1 Maret 2012 M. Diantara pusara para pendahulu pengasuh pesantren Langitan.

silsilah kh abdullah faqih langitan